Posted by Admin
pada 29/05/2009
Proses
mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana
sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana
jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam
telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah
pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini
kami bawakan perinciannya:
1.
Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum
seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus
mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula
sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya
proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak
paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka
penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram
hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun
mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa
namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi
lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari
pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang
lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu
menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah
(godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan
hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf
(kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah
resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang
pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang
telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak
apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah
dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang
dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya
fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si
wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun
pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan
pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya
untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar,
haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً
مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu)
dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada
penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang
wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada
kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di
dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).”
(Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan
Ada
beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita
itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa
jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau
celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita
itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara
perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا
الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi
subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan
banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no.
1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no.
1784)
-Wanita
tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ
جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga
engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun
ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan
yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan
yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR.
Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا
وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena
mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
2.
Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang
wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ
رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan
diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah
wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si
wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no.
5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini
menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan
baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh
karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata
orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil.
(HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian
pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu
akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua
(kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam
Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu
‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil
bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran),
sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya
karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.”
(Syarhus Sunnah 9/18)
Bila
nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita
merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki
melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga
akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim,
9/214)
Sahabat
Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya
hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada
Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad,
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki
(niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita
tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh
melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya
ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ
تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang
wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan
melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa
dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih,
lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan
melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa
seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun
Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam
keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada
aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak
boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita
masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372,
Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya
berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai
catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki
tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si
wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki
bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya
si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki
atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila
sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh
ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang
ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin
Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu
Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan
yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika
nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan
mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di
rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua
telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا
يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita,
lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya,
maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping
itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah
sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang
ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika
melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat
melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan
hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu
sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan
pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat
lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi
kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang
dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau
mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena
tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu
tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian
tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya
sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat
dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya
sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.”
(Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang
dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya
perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3.
Khithbah (peminangan)
Seorang
lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya
meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila
seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya
meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
لاَ
يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah
dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau
meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no.
5144)
Dalam
riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ
أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ
أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain.
Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya
dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara
ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta
pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua.
Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila
peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang
kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya
maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah
pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan
dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas
berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya
tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini.
(Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan
duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat
mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu
dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita,
kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si
wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam
keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si
wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun
bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata
berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria
bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan
membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan
budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada
keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-Utsaimin, 2/748)
Yang
perlu diperhatikan oleh wali
Ketika
wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia
hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan
perkara berikut ini:
-Memilihkan
suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian
dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا
خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ
تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang
yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka
hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian
tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang
besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta
pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan
seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
لاَ
تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى
تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ
تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya
seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR.
Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4.
Akad nikah
Akad nikah
adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab
adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum
dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang
dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ
إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا
هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا
اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5.
Walimatul ‘urs
Melangsungkan
walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi
pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya
menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim
no. 3475)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi
istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا
أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ
عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang
seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing
untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan
Muslim no. 3489)
Walimah
bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa
pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun
disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan
beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan
walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam
Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan
sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara
makna.”)
Hendaklah
yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa
memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan
hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah
tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
شَرُّ
الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ
الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana
yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara
orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan
Muslim no. 3507)
Pada hari
pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping
logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka
mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ
مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah
duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369,
Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1994)
Adapun
makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan
penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus
Sunnah 9/47,48)
Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff
dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul
duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak
mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam
acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan
alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan
bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan
dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا
تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي
خَيْرٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila
mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi
untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6.
Setelah akad
Ketika
mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk
menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara
berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk
membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari
mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih
mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan
mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada
istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya
berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan
suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku
memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau
pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas
susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk
malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun
mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad,
6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling
menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian
depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ
بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ:
اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang
wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya,
menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan:
‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.”
(HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang
setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua
rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid
Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku
berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu
‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun
orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa
demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami
mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan,
“Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari
kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun
bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu
‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan
Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini,
di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si
wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan.
Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang
biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita
ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher,
kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian
tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal
keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat,
selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya
tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi
oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri
di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu
kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan
menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul
dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang
disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah
melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya
sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan
dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman
At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil
rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada
dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu
Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak
mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu
ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak
tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu
riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai
ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi
Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati
zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah,
membahas hadits no. 99)
4 Bagi
orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing.
Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang
terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR.
Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga
hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam
bish-shawab.